MENDIRIKAN HOTSPOT MURAH

Ade slamet | 05.33 | 0 comments

Semakin banyaknya bisnis property di Negara kita merupakan sebuah pertanda semakin banyaknya minat masyarakat untuk membeli rumah sederhanayang murah dan sehat, seperti kita ketahui, apabila kita telisik lebih dalam lagi ternyata hal ersebut bisa dijadikan lahan bisnis yang baru bagi kita.
Seperti yang sudah saya lakukan pada saat ini, dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan memberikan layanan internet yang sehat, maka saya memiliki ide untuk mendirikan sebuah hotspot sederhana yang dapat dijangkau dan melayanai warga sekitar perumahan saya dengan biaya murah meriah tentunya …
Oh ya ngga perlu banyak komentar ya kita langsung aja ya bro…Dalam segi perangkat yang saya gunakan adalah :
1. 3 akses point
2. 3 antena sektoral
3. Sebuah proxy server ( saya mengunakan OS linux dengan Squid Proxy )
4. Sebuah server administrator ( saya mengunakan OS Mikrotik )
5. Koneksi internet ( apa aJa yang penting memenuhi bandwidth yang diharapkan )

Dan Alhamdulillah dengan peralatan infra struktur tersebut saya sudah memiliki sebuah hotspot yang lumayan ciamik …..hehehe,Kalo bahasa kerennya sudah memenuhi criteria AAA (Authentification, Authorized, Accounting)Kenapa saya menggunakan mikrotik untuk saat ini saya telah melakukan ujicoba.. ternyata mikrotik memiliki beberapa fitur ya ng lumayan bagus salah satunya adalah mode layout HTTP loginnya yang bisa kita rubah sesuai dengan keingina n dari pihak pengelola , dan selain itu kita dapat memasukan banner –banner yang tidak bias dilakukan di beberapa software web login.


Kendala yang mungkin sekarang saya rasakan dalam mengembangkan hotspot saya ini adalah pengadaan fasilitas computer murah bagi Warga sekitar, karena kita ketehui tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk membeli computer ..hiks…hikss..hiks….. itulah perjuangan yang sedang saya lakukan … bagaimana menyediakan computer yang murah yang dapat dijanggakau oleh masyarakat sekitar hotspot.
Tentunya harapan saya dengan adanya hoptspot ini bias ikut meningkatkan kemampuan dan pengetahuan para warga sehingga dapat juga membantu pemerintah dalam program mencerdaskan bangsa .

Doanya…semoga berhasil ya…:)

Sepenggal cerita di masa kecil

Ade slamet | 09.24 | 0 comments

Stasiun KA Cibatu, Dulu dan Sekarang

WAJAH Imas (37) tampak kusut. Ia duduk di kursi kayu yang disusun berderet-deret di ruang tunggu Stasiun Cibatu, Kabupaten Garut, yang sepi akhir April lalu. Calon penumpang yang menunggu kereta di stasiun itu tidak lebih dari sepuluh orang.

"Saya mau ke Purwakarta. Apa masih ada keretanya?" tanya Imas risau. "Mungkin keretanya terlambat datang. Baru setengah jam sih biasa. Biasanya sampai satu jam," ujar calon penumpang lain di belakang tempat duduknya. Mendengar jawaban itu, Imas tampak gelisah.

"Saya mau ke rumah saudara di Purwakarta. Kalau keretanya datang makin sore, saya bisa kemalaman," ujar perempuan kurus itu gundah. Imas gelisah bukan hanya karena kereta datang terlambat, tetapi karena ia mengkhawatirkan kondisi anaknya yang ia tinggalkan di rumahnya di Pameungpeuk, Garut.

Kepergian Imas ke Purwakarta untuk mencari pinjaman uang dari saudara-saudaranya. Ini adalah rencana mendadak. Sebelumnya, Imas berniat meminta uang pengobatan pada suaminya yang tidak pernah pulang.

"Saya datang ke Cibatu untuk menemui suami. Sembilan bulan lalu, dia pamit mau mencari pekerjaan. Tidak tahunya malah mencari istri baru," tutur Imas sambil menangis.

Kereta yang ditunggu-tunggu baru datang setengah jam kemudian. Para penumpang yang sudah lama menunggu akhirnya bisa naik kereta. Tidak berapa lama kemudian, kereta meninggalkan Stasiun Cibatu.

Kesedihan dan kesepian Imas, mirip dengan nasib Stasiun Cibatu. Pada tahun 1930-an, stasiun ini termasuk stasiun elit. Stasiun tua itu masih berdiri tegak, namun tidak lagi memikat. Orang-orang telah lama melupakannya.

Hanya ada tujuh kereta yang berhenti di stasiun itu. Paling pagi, datang KA Serayu pada pukul 00.50, jurusan Kroya. Lalu pukul 07.40, KA Pasundan jurusan Kiaracondong. Kereta akan datang lagi pada pukul 11.49 yaitu KA Serayu jurusan Jakarta.

Pada pukul 14.36, akan datang lagi KA Serayu tujuan Kroya. Pada pukul 19.22, akan datang lagi KA penumpang lokal melayani stasiun-stasiun di sekitar Garut.

Pada jam 19.43 dijadwalkan datangnya KA Pasundan, jurusan Kiaracondong. Dan yang terakhir tiba KA Serayu jurusan Jakarta pada pukul 22.15.

Pada suatu sore saat KA jurusan Kroya akan datang, bapak Oleh membuka jendela loket, tempat dia menjual tiket KA. Namun hingga kereta itu meninggalkan stasiun, tidak ada satupun penumpang yang membeli tiket. Tiket jurusan Cibatu-Korya harganya Rp 28.000 per orang.

"Lihat, tidak ada satupun orang yang membeli tiket. Itu sebabnya stasiun ini makin sepi karena terus merugi," kata Bapak Oleh yang sudah 31 tahun bekerja sebagai penjaga loket di stasiun KA Cibatu.

Untuk tahun ini, stasiun Cibatu ditargetkan memperoleh omzet Rp 120 juta per bulan. "Tapi, kami hanya bisa mencapai sekitar Rp 80 juta saja per bulan," ujar Oleh. Banyak penumpang yang tidak membeli karcis kereta akibatnya banyak kereta yang tidak lagi singgah di stasiun tersebut.

Jika terus beroperasi pun, hanya menghabisakan bahan bakar dan membuat bengkak ongkos operasional. Minat masyarakat semakin menurun setelah banyak alternatif angkutan umum selain KA.

"Sebelum tahun 1980-an, hanya kereta yang bisa diandalkan. Bus yang melintasi daerah Cibatu sangat jarang. Tetapi sekarang masyarakat bisa memilih angkutan umum lain yang lebih cepat, fleksibel jadwalnya, dan murah ongkosnya," kata Hadiat, Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA).

Menurut Hadiat, harga karcis kereta tidak fleksibel, sehingga relatif lebih mahal. "Kalau orang mau ke Purwakarta menggunakan bus jurusan Jakarta, mereka hanya dikenakan biaya setengah atau tiga per empatnya saja. Sementara kalau naik kereta, meskipun turun di Purwakarta, tetap saja harus bayar penuh," kata Hadiat.

Sepanjang tahun 2003, jumlah penumpang yang menggunakan stasiun Cibatu 231.561 orang dengan omzet Rp 953 juta. Jumlah itu pun lebih banyak dipenuhi oleh para penumpang kereta lokal yang harga karcisnya hanya Rp 3.500

Sebelum tahun 1983, di stasiun ini masih ada kereta lokal lain yang melayani jurusan di sekitar Garut. Penumpangnya sebagian besar para pedagang dan pelajar.

"Sekarang tidak ada satu pun penumpang yang membeli barang dagangan saya. Pembeli di kios ini, ya…pedagang lainnya. Jadi seperti main-main saja di sini," kata Omah yang sedang mendengarkan lagu dangdut dari radio di dalam kiosnya yang dekil dan sempit, bersebelahan dengan toilet umum di Stasiun KA Cibatu.

Pedagang lain yang menempati ruangan di bawah menara air pun tampak terkantuk-kantuk menunggui dagangannya. Hanya ada empat pedagang di stasiun itu. Tiga orang memiliki kios, sementara satu pedagang lainnya hanya memajang dagangannya di lemari kecil.

Pemandangan di Stasiun Cibatu tentu sangat berbeda dengan cerita yang diungkapkan orang-orang tua yang masih tinggal di sekitar Cibatu. Jejak kemewahan di stasiun itu di masa lampau pun tidak berbekas sama sekali.

"Dulu di dekat loket terdapat jam besar sekali, juga di ruang tunggu kereta. Apa masih ada jam-jam kuno itu?" tanya Rumanah (85) yang sudah belasan tahun tidak pernah lagi menginjakan kaki ke stasiun itu. Jam yang dimaksud Rumanah sudah tidak ada.

Pada sekitar tahun 1935-an, Rumanah bekerja sebagai pembantu di rumah Tuan Bruggman dan Philipe, keduanya pejabat perusahaan kereta Belanda. Rumah para pejabat perusahaan kereta api itu berada di sepanjang jalan masuk ke stasiun. Beberapa rumah kuno peninggalan Belanda masih tampak kokoh berdiri di sisi sepanjang jalan tersebut.

Menurut Rumanah, saat Indonesia masih dijajah, ia sangat takut memandang wajah orang-orang bule yang berlalu-lalang di jalan. Ketika ia hendak pulang ke kampungnya, ia selalu menundukan kepala sepanjang jalan.

Meski demikian, Rumanah masih bisa melihat mobil-mobil sedan mewah melintas sebelum sebuah kereta datang. Mobil-mobil itu, kabarnya hendak menjemput noni Belanda yang ingin plesir di sekitar Garut.

Hasan Basri, pemimpin sebuah pesantren di daerah Cibatu juga masih mengingat masa-masa jaya Stasiun Cibatu. Dulu, ia sering bermain bersama noni-noni Belanda. Kebetulan mereka sekolah di tempat yang sama. Meskipun Hasan bisa berteman akrab dengan anak-anak Belanda, tetapi dengan orang tua teman-temannya, Hasan merasa tetap ada jarak.

Dulu, kata Hasan, kereta yang melintas adalah kereta uap. Ketel diisi dengan air dari menara air. Sementara untuk bahan bakar, digunakan kayu bakar atau pohon apa saja. Maka, ketika kereta mogok, para pekerja kereta bisa saja mencabut pohon-pohon singkong di pinggir rel untuk menjadikannya bahan bakar sehingga kereta bisa lagi bergerak. Kereta-kereta yang dipakai orang-orang Belanda sangat mewah.

Haryoto Kunto dalam buku Seabad Grand Hotel Preanger menceritakan kemewahan yang ada di Stasiun Cibatu sekitar tahun 1935 hingga 1940. Setiap hari lebih dari selusin sedan dan limousine tua parkir di pelataran Stasiun Cibatu untuk menjemput para tamu hotel yang menggunakan kereta api ekspres. Para pelancong datang untuk menikmati objek wisata di Garut. Sejak tahun 1880-an, Garut telah memiliki hotel yang cukup terkenal bernama Hotel Van Horck.

Saat itu, objek wisata di Garut banyak dipromosikan di perusahaan pelayaran dan penerbangan Belanda oleh organisasi pariwisata bernama Nederlandsch Indische Hotelvereeniging. Objek-objek wisata Garut pun dikenal di mancanegara.

Para wisatawan datang ke Garut untuk menikmati wisata mengitari Situ Bagendit, air panas di Cipanas Tarogong, Candi Cangkuang di Leles, Telaga Bodas di Wanaraja, perkebunan Pamegatan di Cikajang, penginapan Landhuis Darajat, mendaki Gunung Cikuray dan Papandayan sambil berkunjung ke Kawah Manuk dan menikmati Taman Inggris, juga asitektur rumah tradisional Sunda di puncak gunung.

Kota Intan yang dijuluki sebagai Paradijs Van Het Oosten atau Surga dari Dunia Timur tersebut pada tahun 1920-an pernah dikunjungi oleh Perdana Menteri Perancis, Georges Clemenceau yang menginap tiga hari di Ngamplang. Selain itu bintang film terkenal saat itu, Charlie Chaplin sampai datang dua kali ke Garut, yaitu tahun 1927 dan 1935.

Setelah kemerdekaan Indonesia, tahun 1946, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir Soekarno dan Mohammad Hatta datang bersama istrinya masing-masing yaitu Fatmawati dan Rachmi, juga berkunjung ke Cibatu dengan kereta api luar biasa. Di masa penjajahan Belanda, kereta api ini biasa digunakan oleh Gubernur Jenderal dan sanak keluarganya. Kursi di gerbong kereta sangat bagus, gerbong pun dilengkapi kain-kain gorden.

Dalam perjalanan Cibatu menuju Garut, kereta yang biasanya membutuhkan waktu satu jam akhirnya baru tiba setelah tiga jam perjalanan. Pasalnya, sepanjang perjalanan, rakyat di kota-kota kecil di Garut meminta Soekarno untuk turun di setiap stasiun dan berpidato. Saat berpidato di Wanaraja, seorang nenek berbaju compang-camping memberi Soekarno makanan. Saat itu, Soekarno baru sadar bahwa rakyatnya banyak yang tidak memiliki baju yang layak. Maka sepanjang perjalanan, Soekarno pun membagi-bagikan kain gorden kereta untuk digunakan oleh rakyatnya yang tidak punya baju.

Kini, tidak ada lagi kereta mewah berhenti di stasiun ini untuk menurunkan pelancong mancanegara. Orang-orang yang naik-turun di stasiun ini kebanyakan hanya pedagang gado-gado yang menjual makanan di dalam kereta, atau para perantau yang ingin pulang kampung.

Sedan dan limousine pun tidak pernah lagi datang menjemput tamu-tamu hotel yang ingin plesir di Garut. Kini, yang ada hanya para pengojek motor dan kusir delman. Mereka baru tampak di muka stasiun jika ada kereta yang tiba dan berharap ada satu atau dua penumpang yang bisa terangkut. Mereka menanti dengan sabar, meskipun kereta datang sangat terlambat. (y09)

Dikutip dari:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/06/Jabar/1733592.htm
 
Support : Creating Website | Ade Slamet | Mas Template
Copyright © 2011. PROJECT IMPLEMENTASI - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger